Nias, merupakan salah satu pulau yang kaya dengan tinggalan Megalitik, dan tinggalan dimaksud masih tetap berdiri tegar di perkampungan-perkampungan tradisional hingga kini. Hampir seluruh aspek kebudayaan Nias yang kita lihat sekarang ini terasa unsur budaya Megalitiknya. Di Nias Selatan, beberapa prosesi upacara yang berkaitan dengan pendirian banggunan Megalitik (upacara owasa/faulu), dan masih dilaksanakan hingga kini, hanya saja dengan berbagai penyesuaian. Adapun penuesuaian pada upacaraowasa/faulu (upacara besar untuk meningkatkan status sosial) di antaranya secara komunal, sehingga babi yang diperlukan dalam upacara tersebut dapat menjadi beban bersama.
Berbagai hal yang dapat dipetik dari pelaksanaan upacara owasa/faulu dimaksud di antaranya memiliki status yang tinggi di masyarakat, karena status yang didapatkan dari upacara itu memiliki pengaruh lebih kuat dibandingkan dengan status yang didapatkan dengan cara yang lain, seperti pendidikan, misalnya, sehingga tidak jarang peran bangsawan lebih besar dibandingkan dengan peran kepala desa yang bukan dari kelompok bangsawan. Menjadi bangsawan merupakan upaya pencapaian yang lebih tinggi dalam kosmologis lama, selain upaya mendekatkan diri dengan leluhur, baik dalam konteks religi maupun dalam konteks kekerabatan. Hal tersebut diperlukan mengingat senioritas memiliki kekuasaan yang lebih dibandingkan dengan yuniornya, sehingga orang yang tinggi tingkatannya dalam kosmologis lama (tingkatan owasa/faulu berkaitan dengan tingkatan kosmologis) atau dekat dalam struktur kekerabatan dengan leluhur, memiliki kekuasaan yang lebih dibandingkan dengan yang lainnya.
Ketika migrasi terakhir datang ke Boronadu, Gomo, pada tahun 1400-an Masehi, di bagian selatan Pulau Nias (sesuai dengan folklor lisan asal-usul masyarakat Nias), telah ada sekelompok orang yang tinggal di bagian utara Nias, yaitu di Gua Togi Ndrawa, dan juga di Gua Togi Bogi. Hal tersebut dapat diketahui dari hasil serangkaian penelitian arkeologis yang disertai dengan serangkaian analisis radiokarbon (C14). Mengingat budaya yang dibawa kelompok migrasi terakhir ini. di antaranya, sangat menjunjung konsep senioritas, maka disusunlah folklor asal-usul masyarakat Nias, dengan menyampaikam bahwa leluhur merekalah yang pertama kali turun dari langit, sebelum leluhur kelompok lainnya ada di pulau Nias. Dengan demikian, legitimasi atas wilayah dan juga berbagai aspek sosial lainnya menjadi sah. Konsep tersebut dimungkinkan untuk diterima, mengingat budaya yang dibawa kelompok migran terakhir lebih maju, baik dari aspek teknologi, religi, dan cara hidup, yang kemudian dilegalisasi dari aspek budaya materi, kosmologis, religi, konsep struktur sosial, dan upacara, serta selalu menjadi bagian prosesi keseluruhan aspek dimaksud.
Berbagai hal yang dapat dipetik dari pelaksanaan upacara owasa/faulu dimaksud di antaranya memiliki status yang tinggi di masyarakat, karena status yang didapatkan dari upacara itu memiliki pengaruh lebih kuat dibandingkan dengan status yang didapatkan dengan cara yang lain, seperti pendidikan, misalnya, sehingga tidak jarang peran bangsawan lebih besar dibandingkan dengan peran kepala desa yang bukan dari kelompok bangsawan. Menjadi bangsawan merupakan upaya pencapaian yang lebih tinggi dalam kosmologis lama, selain upaya mendekatkan diri dengan leluhur, baik dalam konteks religi maupun dalam konteks kekerabatan. Hal tersebut diperlukan mengingat senioritas memiliki kekuasaan yang lebih dibandingkan dengan yuniornya, sehingga orang yang tinggi tingkatannya dalam kosmologis lama (tingkatan owasa/faulu berkaitan dengan tingkatan kosmologis) atau dekat dalam struktur kekerabatan dengan leluhur, memiliki kekuasaan yang lebih dibandingkan dengan yang lainnya.
Ketika migrasi terakhir datang ke Boronadu, Gomo, pada tahun 1400-an Masehi, di bagian selatan Pulau Nias (sesuai dengan folklor lisan asal-usul masyarakat Nias), telah ada sekelompok orang yang tinggal di bagian utara Nias, yaitu di Gua Togi Ndrawa, dan juga di Gua Togi Bogi. Hal tersebut dapat diketahui dari hasil serangkaian penelitian arkeologis yang disertai dengan serangkaian analisis radiokarbon (C14). Mengingat budaya yang dibawa kelompok migrasi terakhir ini. di antaranya, sangat menjunjung konsep senioritas, maka disusunlah folklor asal-usul masyarakat Nias, dengan menyampaikam bahwa leluhur merekalah yang pertama kali turun dari langit, sebelum leluhur kelompok lainnya ada di pulau Nias. Dengan demikian, legitimasi atas wilayah dan juga berbagai aspek sosial lainnya menjadi sah. Konsep tersebut dimungkinkan untuk diterima, mengingat budaya yang dibawa kelompok migran terakhir lebih maju, baik dari aspek teknologi, religi, dan cara hidup, yang kemudian dilegalisasi dari aspek budaya materi, kosmologis, religi, konsep struktur sosial, dan upacara, serta selalu menjadi bagian prosesi keseluruhan aspek dimaksud.
Info Buku | |
ISBN | 978-979-461-763-2 |
Dimensi | 16 x 24 cm |
Jenis Cover | Softcover |
Jenis Kertas | Book Paper |
Berat | 350 g |
Jumlah Halaman | 252 h |
Tahun Terbit | 2010 |
Penerbit | Yayasan Pustaka Obor Indonesia |
Legitimasi Kekuasaan Pada Budaya Nias: Panduan Penelitian Arkeologi dan Antropologi
- Penulis: Ketut Wiradnyana
- Ketersediaan: Tersedia
-
Rp.70.000
Produk Terkait
Tags: Legitimasi, Kekuasaan, Budaya Nias, Panduan Penelitian, Arkeologi, Antropologi, Ketut Wiradnyana