Demokrasi telah menjadi pilihan dan diadopsi banyak negara berkembang yang telah lepas dari kolonialisme dan imperialisme. Sebagai alternatif, di luar sistem pemerintahan otoriter dipimpin rezim sipil dan militer, demokrasi telah dipilih sebagai solusi terbaik untuk membawa negara ke masa depan yang lebih baik. Secara rasional, demokrasi diadopsi untuk mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan yang dihadapi negara yang baru merdeka, di tengah-tengah perbedaan latar belakang agama, ras, etnik, bahasa, dan tingkat pendidikan. Demokrasi kemudian menjadi persoalan baru, karena munculnya instabilitas domestik yang dipicu konflik antarkelompok akibat hasil pembangunan yang tidak memuaskan di dalam sistem baru. Demokrasi lalu menjadi ancaman keamanan negara-negara baru karena kesejahteraan yang menjanjikan tidak kunjung tiba. Negara-negara baru menghabiskan biaya yang tinggi untuk pemilu, sementara pertumbuhan ekonomi tetap rendah dan kondisi ekonomi tidak kunjung membaik akibat pengangguran meningkat dan korupsi marak terjadi.
Demokrasi yang mensyaratkan keterbukaan telah memunculkan
imbas berlipat dalam bentuk krisis ekonomi yang lebih parah. Keterbukaan
dan kebebasan yang menghidupkan demokrasi telah menciptakan radikalisme
pemeluk agama dan anarkisme yang berujung pada instabilitas politik
domestik. Kondisi buruk yang berkepanjangan membawa beberapa negara baru
ke wilayah abu-abu dengan ketidakjelasan prospek demokratisasi mereka
(Wolfgang Merkel, 2003). Hampir lima dasawarsa sesudahnya, Amartya Sen
(1998) mendukung tesis Huntington melalui tesis empiriknya bahwa
kemiskinan terus berlangsung akibat alokasi kewenangan politik
(kekuasaan) yang tidak adil. Kondisi itu telah menyebabkan terjadinya
ketimpangan ekonomi dan kemiskinan. Karenanya, demokrasi harus menjadi
solusi, agar bisa berlangsung pembagian kewenangan politik, hukum, dan
kekuasaan yang memungkinkan dilakukannya alokasi sumber-sumber daya
ekonomi melalui pembuatan kebijakan pro-rakyat banyak yang tingkat
kesejahteraannya masih rendah.
Di Milenium baru, para
pemimpin negara dihadapkan pada pertanyaan, apakah mereka akan kembali
ke titik awal, kembali mengaplikasikan sistem otoriter di bawah rezim
sipil atau militer, ataukah tetap mempertahankan demokrasi sebagai
pilihan terbaik yang relatif? Telah dipertanyakan, bisakah demokrasi
melahirkan kembali kepercayaan masyarakat di banyak negara yang telah
menjatuhkan pilihan padanya untuk menciptakan kesejahteraan ketika
sinisme terhadapnya meningkat? Buku ini mengungkap perjalanan Indonesia
yang rawan di masa transisi demokratis dan pergulatannya dalam
mewujudkan konsolidasi demokratis yang tidak kunjung diraihnya.
Info Buku | |
ISBN | 978-623-321-119-2 |
Dimensi | 15.5 x 23 cm |
Jenis Cover | Soft Cover |
Jenis Kertas | Bookpaper |
Berat | 500 gram |
Jumlah Halaman | xiv + 436 hlm |
Tahun Terbit | 2021 |
Penerbit | Yayasan Pustaka Obor Indonesia |
Transisi dan Kandasnya Konsolidasi Demokratis Pasca-Soeharto
- Yayasan Pustaka Obor Indonesia
- Penulis: Poltak Partogi Nainggolan
- Ketersediaan: Tersedia
-
Rp.230.000
Produk Terkait
Tags: Transisi dan Kandasnya Konsolidasi Demokratis Pasca-Soeharto